KONTRIBUSI PEMIKIRAN AL-GHAZALI MENGENAI KONSEP UANG DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
KONTRIBUSI PEMIKIRAN AL-GHAZALI MENGENAI KONSEP UANG DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
Abstrak
Al-Ghazali
dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu
multidisplin. Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secara mendalam termasuk
persoalan uang. Aktfitasnya bergumul dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak
pernah surut hingga ajal menjemputnya. Dalam ranah keilmuan Islam, sebuah bukti
pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama
terhadapnya.
Pemikiran al-Ghazali mengenai konsep
uang menunjukan bahwa 1). Al-Ghazali menyatakan bahwa konsep uang menyatakan
bahwa konsep uang adalah barang yang dipergunakan masyarakat sebagai mediasi
atau alat tukar untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya. AlGhazali
menjelaskan bahwa benda (uang) tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai
barang (nilai intrinsic). Uang diibaratkan oleh al-Ghazali sebuah cermin
yang tidak memilki warna sendiri tapi mampu mencerminkan warna-warna lain. 2).
Menurut Al-Ghazali jenis-jenis mata uang terbuat dari emas dan perak yaitu
dinar dan dirham, yang merupakan bahan terbaik untuk membuat mata uang. 3).
Menurut Al-Ghazali fungsi uang meliputi : qiwamu ad-dunya (satuan
hitung), hakim mutawasit (pengukur nilai barang) dan sebagai al-mu’awidah
(alat tukar)
Keyword: Uang, Konsep
uang, Al-Ghazali
A. Pendahuluan
Ekonomi Islam
sesunguhnya secara inhern merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan
Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh
umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keIslamannya dalam
seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang
menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan
transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran islam. Dalam mewujudkan
kehidupan ekonomi sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber dayanya di alam
raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya segala sesuatu
yang ada di dunia ini.
Seluruh
aspek kehidupan dalam peradaban modern saat ini tidak terlepas dan ditopang
sepenuhnya oleh uang.Tidak ada satu peradaban di dunia ini yang tidak mengenal
dan menggunakan uang. Kalaupun ada, maka perekonomian dalam peradaban tersebut
pasti stagnan dan tidak berkembang.[1]
Menurut
Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
umat manusia karena dengan menggunakan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan
hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya. Adapun bentuk mata uang yang
dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun
tradisi, hanya terdiri dari emas dan perak. Oleh karena itu, mata uang yang
menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak disebut sebagai mata uang.[2]
Lebih
lanjut, Ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat
tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya
kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Artinya, penggunaan fulus hanya diijinkan
dalam berbagai transaksi yang berskala kecil. Sepanjang sejarah keberadannya
uang memainkan peran penting dalam perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil
memudahkan dan mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang
dalam sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efisien.
Menurut
Ghufron A. Mas’adi, Dia menjelaskan bahwa dalam hukum islam Fungsi uang sebagai
alat tukar-menukar diterima secara luas. Penerimaan fungsi ini disebabkan
karena fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan
ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat
dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap
sejumlah barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut
menjadi berkurang. Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni
riba fadhal.
Kelemahan-kelemahan
yang ada dalam sistem barter adalah salah satu pemicu manusia untuk menggunakan
cara lain yang lebih efisien, di mana untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka
ragam, manusia tidak perlu lagi menunggu orang lain yang mau diajak saling
bertukar barang kebutuhan. Mereka mulai menggunakan alat pertukaran dan
pembayaran yang disebut dengan uang. Manusia dapat menukarkan uang dengan
barang atau jasa yang diinginkannya.[3]
Adapun
pemikiran-pemikiran Al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus
pada satu bidang tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Namun demikian, pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada
pendekatan tasawuf karena, pada masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa, dan
sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis dalam mempercayai Yaum al-Hisab (Hari Pembalasan).
Pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Ghazali lebih banyak
diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya,
banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga
menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu
bangsa.
Oleh karena itu menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya
ulumuddin, pengertian uang adalah sebagai berikut :
“ Nikmat Allah (barang) yang dipergunakan masyarakat
sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya,
yang secara substansial tidak memiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan
manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka (sebagai alat
tukar).”[4]
Dari pengertian di atas, di ciptakannya uang menurut
Al-Ghazali mempunyai tujuan sebagai alat untuk mengukur semua harta benda yang
akan dipertukarkan. Sebagaimana dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,
Al-Ghazali menuliskan sebagai berikut :
فَخَلَقَ
الله تَعَالى الدَّنَانِيْرُ وَالدَّرَاهِمَ حَاكِمَيْنِ وَمُتَوَسِطِيْنَ بَيْنَ
سَائِرِ الْأَمْوَالِ حَتََّي تَقْدِرُ الْأَمْوَالِ بِهِمَا
“
Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh
harta sehingga dengan keduanya semua harta bisa diukur”.[5]
Konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang
khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan
tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa
Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan
menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat
dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis
dan jernih.
Konsep keuangan Al-Ghazali merupakan konsep yang unik
karena aspek sufistik mengandung dan berpengaruh didalamnya. Konsep keuangan
tersebut berdasarkan fungsinya di abad pertengahan, dalam kitab Ihya
'Ulumuddin dalam bab as-Syukru, dimana membicarakan masalah uang
yang dipergunakan manusia sebagai nikmat dari Allah swt, dengan sistem barter.
Barter
(al-Mufawwadah) dilakukan
dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar
menukar barang dengan jalan "tukar ganti" (Muqayyadah), yakni
memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang
gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang
diperdagangkan dengan barter ini.
Kemudian kekhasan pemikiran Al-Ghazali tentang ekonomi
pada umumnya dan khususnya tentang uang menjadi hal yang menarik untuk di kaji
dan diteliti, karena selama ini yang lebih dikenal akan sosok Al-Ghazali di
kalangan umat Islam adalah seorang tokoh tasawuf dan filsafat. Bahkan, Al-Ghazali banyak diposisikan tidak lebih dari
sekedar seorang ulama sufi yang kolot. Kehidupan dan pemikiran mereka lebih
banyak dipahami hanya berorientasi akherat semata, menyepi dan jauh dari hiruk
pikuk kehidupan manusia yang penuh dengan aktifitas duniawi. Anggapan tersebut
tidak sepenuhnya benar apabila disimak dari sejumlah karya-karya beliau yang
ternyata cukup kaya wawasan dari berbagai aspek kehidupan manusia
B. Konsep Uang
Kalau
membicarakan mengenai pengertian dan definisi tentang Uang, banyak para ahli
baik di jaman Al-Ghazali maupun di jaman sesudahnya memberikan definisinya
tentang uang dengan mempertimbangkan fungsi dan tujuannya. Uang adalah sesuatu
yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah
tertentu atau sebagai alat pembayaran hutang atau sebagai alat untuk melakukan
pembelian barang dan jasa, Dengan kata lain bahwa uang merupakan alat yang
dapat digunakan dalam melakukan pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu
wilayah tertentu saja.[6]
Di
dalam Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kita kadang salah kaprah
menempatkan uang. Uang kita sama artikan dengan modal (capital). Uang
adalah barang khalayak (masyarakat luas). Uang bukan barang monopoli seseorang,
jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara
modal adalah barang pribadi atau orang per orang.
Secara
definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai
semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan proses jual beli hasil
produksi. Dengan uang hasil penjualannya itu ia dapat membeli barang-barang
keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk uangnya atau tidak
dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan
menghalangi proses atau kelancaran jual beli.[7]
Menurut
Syafi’i Antonio, uang pada hakikatnya adalah milik Allah Swt yang diamanahkan
kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan kita dan
masyarakat. Oleh karenanya, menumbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak
produktif) tidak dikehendaki karena berarti mengurangi jumlah uang beredar. [8]
Dalam Islam, uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar
dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, akan
semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik
perekonomian.
Kemudian
seperti halnya Ibnu Khaldun, seorang tokoh di jaman Al-Ghazali, menjelaskan
mengenai konsep uang bahwa kekayaan suatu negara bukanlah ditentukan dari
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan oleh neraca
pembayaran yang positif. Bisa saja suatu negara mencetak uang
sebanyak-banyaknya, namun bila hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah itu tidak ada nilainya.
Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, menimbulkan permintaan atas faktor-faktor
produksi lainnya.[9]
Sejalan
dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak perlu
mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang.
Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah, bahwa
ia senilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali pemerintah menetapkan
nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubahnya.[10]
Kemudian
Ibn Rusyd memandang bahwa uang sebagai alat untuk mengukur harga komoditas.
Nilai harga setiap barang dikenal dengan unit mata uang. Lebih lanjut Ibn Rusyd
berkata, ketika seseorang susah menemukan persamaan antara barang-barang yang
berbeda, maka jadikanlah dinar dan dirham sebagai alat untuk mengukurnya.[11]
Sedangkan
menurut Taqyuddin an-Nabhani, uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada
barang dan tenaga. Oleh karena itu, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. Misalkan, harga adalah
standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang
masing-masing merupakan perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga
orang. Sementara promis, saham dan sejenisnya tidak bisa disebut sebagai uang.[12]
Dari
sekian definisi yang diutarakan, kita bisa membedakan dalam tiga segi: pertama,
definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai,
media pertukaran dan alat pembayaran yang tertunda. Kedua, definisi uang
dengan melihat karakteristiknya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas
oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan
perundangan sebagai segala sesuatu yang memilki kekuatan hukum dalam
menyelesaikan tanggungan kewajiban. Di sini kita menemukan bahwa para ahli
ekonomi membedakan antara uang dan mata uang. Mata uang adalah setiap sesuatu
yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang
bersifat dapat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas.
Sedangkan uang lebih umum dari mata uang, karena mencakup mata uang dan yang
serupa dengan uang (uang perbankan). Dengan demikian, setiap mata uang adalah
uang, tapi tidak setiap uang itu mata uang.
Dalam
konsep Islam, uang adalah benda publik yang sangat penting perannya dalam
perekonomian masyarakat. Karena itu ketika uang ditarik dari sirkulasinya, maka
ia akan kehilangan fungsi pentingnya tersebut. Praktek menimbun uang dalam
Islam disebut dengan istilah kanz al-mal dan dalam istilah ekonomi
konvensional disebut dengan money hoarding atau kadang-kadang cukup
disebut hoarding, yaitu keinginan seseorang untuk menahan uang tunai.
Istilah ini seringkali dikacaukan dengan ihtikar. Sebab ihtikar adalah
penimbunan barang-barang lain selain emas dan perak, biasanya berupa kebutuhan
pokok masyarakat atau kebutuhan vital lainnya.[13]
Menurut Al-Ghazali larangan ihtikar bersifat mutlak dan terkait dengan aspek,
yaitu jenis harta yang ditimbun dan waktu penimbunan. Jenis-jenis harta yang
diharamkan ditimbun adalah makanan pokok. Sedangkan jenis harta yang lain,
meskipun dapat dimakan menurutnya masih diperdebatkan.
Namun,
ketika uang dimaknai dalam kerangka flow concept, maka sebenarnya sebuah
mata uang hanya akan berfungsi sebagai uang apabila ia beredar atau mengalir
dalam masyarakat.[14]
Dengan kata lain ketika uang tidak beredar maka ia tidak dapat disebut sebagi
uang. Konsep uang beredar ini erat kaitannya sekaligus sebagi indikator bagi
jumlah pendapatan (income) masyarakat. Jelasnya bahwa semakin cepat
perputaran uang dalam masyarakat, semakin tinggi pula pendapatan masyarakat.
Hal ini bisa terjadi karena seringnya transaksi yang berlangsung .[15]
Ini berarti pula bahwa dalam pandangan teori flow concept tingkat
pendapatan masyarakat tidak semata-mata ditunjukan olah jumlah uang yang
dipegang, melainkan jumlah uang yang dipegang masyarakat harus benar-benar
produktif, yang diindikasikan oleh tingkat perputarannya, untuk dapat dijadikan
tolak ukur bagi tingkat pendapatan tersebut.
Kemudian,
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menjelaskan tentang pengertian Uang secara utuh
tetapi kita dapat mengutip pernyataan
Al-Ghazali tentang uang menurutnya, uang adalah nikmat Allah yang dipergunakan
masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan
hidupnya, yang secara substansial tidak memeiliki nilai apa-apa, tetapi sangat
dibutuhkan manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka
(sebagai alat tukar). Sebagaimana
dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menuliskan sebagai berikut :
فَخَلَقَ الله تَعَالى
الدَّنَانِيْرُ وَالدَّرَاهِمَ حَاكِمَيْنِ وَمُتَوَسِطِيْنَ بَيْنَ سَائِرِ
الْأَمْوَالِ حَتََّي تَقْدِرُ الْأَمْوَالِ بِهِمَا
“
Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penngah diantara seluruh
harta sehingga dengan keduanya semua harta bisa diukur”.[16]
Menurut
beliau, uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain
dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya fungsi uang ini adalah penjabaran dari
fungsi uang sebagai sarana tukar-menukar. Oleh karena itu beliau mengibaratkan
uang dalam kitabnya sebagai berikut :
…” كَا اْلمِرْاَةُ لَا لَوْنٍ لهَاَ وَتَحْكَى كُلَّ لَوْنٍ “….
“…Uang
bagaikan cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan
semua jenis warna…”.[17]
Artinya, dengan melihat kriteria tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam
memberikan definisi uang, Al-Ghazali tidak hanya menekankan pada aspek fungsi.
Definisi yang demikian lebih komprehensif dibanding dengan batasan-batasan yang
dikemukakan oleh kebanyakan ekonom konvensional.
Inilah
yang kemudian menjadi konsep dasar keuangan Al-Ghazali. Dari pernyataan
tersebut dapat diambil suatu definisi uang menurut Al-Ghazali, yaitu uang
adalah:
1. Barang
atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang lain. Dengan
kata lain uang adalah barang yang
disepakati fungsinya sebagai media pertukaran (medium of exchange).
2. Benda tersebut
dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik).
3. Nilai benda yang berfungsi sebagai uang
ditentukan terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang
lebih berperan dalam benda yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan
nilai nominalnya.[18]
Penjelasan
tersebut menunjukan bahwa Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat komprehensif
mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai:
1.
Kurang memilki angka penyebut yang sama
(lack of common denominator).
2.
Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility
of goods)
3.
Keharusan adanya dua keinginan yang sama
(double coincidence of wants).[19]
Kemudian
berbicara barter, walaupun dapat dilakukan barter menjadi sangat tidak efesien
karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang (seperti unta dan
za’faran). Pemilihan sebagai contoh tersebut mencerminkan pemahaman Al-Ghazali
yang sangat baik terhadap problem barter. Ia menegaskan bahwa evolusi uang
terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak aka nada
masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanfa
ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila
ada ukuran yang sama.[20]
Dalam
hal ini Murtadha Muthahhari, menjelaskan bahwa nilai sebuah mata uang terkait
erat dengan wujud uang itu sendiri. Hal demikian dikarenakan wujud suatu barang
sangat menentukan nilai dari barang itu sendiri. Menurutnya uang memilki
beberapa kategori wujud, yaitu: wujud hakiki (real existence), wujud
Zihni (mental existence), dan wujud relatif (relatife existence).
Real existence bagi mata uang ditunjukan oleh bahan pembuat uang itu sendiri.
Seperti emas, perak, tembaga, kertas dan lain-lain. Nilai uang yang ditunjukan
oleh real existence ini disebut dengan nilai intrinsik atau nilai barang.
Sedangkan mental existence mata uang ditunjukan oleh nilai atau harga uang
terhadap barang-barang lain.[21]
Misalnya seratus rupiah sama nilainya dengan dua buah jarum tangan. Dalam hal
ini nilai uang berbanding terbalik dengan nilai barang. Maksudnya adalah jika
nilai uang menguat maka nilai barang mengalami penurunan, sebaliknya jika nilai
uang melemah maka nilai barang mengalami kenaikan..
Anggapan
Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait
dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata
uang. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Larangan menimbun uang (money
hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran
signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari
sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik
menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas
perekonomian suatu masyarakat.
2.
Problematika riba. Secara sederhana riba
adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Alasan
mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah
didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat
tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu,
perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang
keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
3.
Jual beli mata uang. Salah satu hal yang
termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini,
Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli
mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan
praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam
masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan
tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.
C.
Pembahasan Fungsi Uang Menurut Al-Ghazali
Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth
of Nations” pada tahun 1766 di Eropa, Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya
‘Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, uang berfungsi sebagai media pertukaran, namun uang tidak
dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk
memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi.
Pada pembahasan
sebelumnya telah disinggung tentang beberapa fungsi uang menurut Al-Ghazali.
Dalam hal ini Al-Ghazali menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki uang.
Fungsi-fungsi uang tersebut adalah sebagai qiwam ad-dunya (satuan
hitung), hakim mutawasit (pengukur nilai barang) dan sebagai al-mu’awidah
(alat tukar/medium of exchange).[22]
Fungsi uang sebagai qiwam
ad-dunya, artinya bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai
barang sekaligus membandingkannya dengan barang yang lain. Telah di singgung
sebelumnya, bahwa Al-Ghazali mengibaratkan uang dengan sebuah cermin yang tidak
memiliki warna sendiri tetapi mampu mencerminkan warna-warna yang lain.[23] Demikian
dengan uang, sebenarnya tidak memiliki nilai sendiri tetapi dapat menunjukan
perbandingan nilai suatu barang dengan barang yang lain. Fungsi ini juga
menghapus kesulitan-kesulitan yang timbul dalam barter, yaitu dalam hal
penentuan perbandingan nilai barang yang akan ditukar. Al-Ghazali menyebut
bahwa uang laksana hakim yang adil atau hakim mutawasit. Maksudnya tidak
lain adalah uang dapat dijadikan standar yang jelas dalam menentukan nilai
barang yang berbeda.[24]
Misalnya satu kilogram beras nilainya sama dengan satu setengah kilogram
gandum. Hal ini dapat diketahui dengan jelas apabila dinyatakan dalam satuan
nilai uang, misalnya tiga ribu rupiah. Sedangkan fungsi uang sebagai alat
at-tabadul atau al-mu’awidah, adalah bahwa uang merupakan sarana
pertukaran barang dalam suatu transaksi atau sering disebut dengan medium of
exchange.[25]
Uang juga berfungsi
sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu.
Sebenarnya fungsi ini adalah penjabaran dari fungsi uang sebagai sarana
tukar-menukar. Karena itu dinyatakan “uang membeli barang dan barang tidak
membeli uang”. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki sepotong pakaian, maka
yang ia miliki hanyalah sepotong pakaian tersebut, maka yang ia miliki uang
seharga uang tersebut, maka ia memilki uang sekaligus dapat membeli pakaian itu
dengan uang yang dimiliki dan dapat juga membeli barang lain yang senilai.[26]
Fungsi-fungsi uang menurut Al-Ghazali sebagaimana disebutkan di atas tidak lepas
dari konsep dasarnya mengenai uang itu sendiri, yaitu uang semata-mata hanya
merupakan alat tukar dalam transaksi. Hal ini juga terkait dengan konsep nilai
uang.
Fungsi-fungsi tersebut
jika dibandingkan dengan konsep yang ada dalam ekonomi konvensional adalah
sebagai berikut :
Ekonomi
Konvensional
|
Ekonomi
Al-Ghazali
|
Medium
of exchange
|
Medium of exchange (al-mu’awidah)
|
Unit
of account
|
Unit of account (qiwam ad-dunya)
|
Measure
of value
|
Measure of value (hakim mutawasit)
|
Store
of value
|
Sarana mencapai tujuan/mendapatkan
barang lain
|
Dalam
bagan di atas dapat dilihat bahwa fungsi uang dalam konsep Al-Ghazali hanya dua
macam, yaitu sebagai medium of exchange (alat tukar) dan unit of
account (satuan hitung). Dua fungsi uang dalam ilmu ekonomi dikenal dengan
fungsi utama uang. Selain kedua fungsi utama tersebut dalam konsep ekonomi
konvensional juga mengenal fungsi tambahan atau turunan (derivative
functions), yaitu uang sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value)
dan alat pembayaran tangguh (standard of defereded payment).[27]
Fungsi derivative uang tidak dikenal dalam konsep Al-Ghazali dan ekonom Islam pada
umumnya.
1.
Uang sebagai Alat Tukar
Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam
ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak
diterima sebagai medium of exchange, maka uang tetap diperlukan sebagai unit
of account.[28]
Misalnya untuk mengetahui apakah satu baju sama nilainya dengan lima buah kue.
Ia juga menyatakan bahwa uang itu seperti kaca yang tidak memiliki warna
sendiri, tapi mampu memantulkan semua macam warna. Dengan kata lain uang tidak
memiliki harga tapi merefleksikan semua harga.
Fungsi uang sebagai media
pertukaran sangat penting terutama setelah disadarinya berbagai kesulitan yang
muncul dalam sistem perekonomian barter.[29]
Kesulitan yang dimaksud adalah bahwa dalam barter sulit untuk menentukan nilai
perbandingan antara dua benda yang akan ditukarkan. Selain itu dalam barter
disyaratkan adanya bertemunya dua barang yang berbeda dan dua kepentingan yang
sesuai antara pemilik barang yang satu dengan yang lainnya. Kesulitan
selanjutnya adalah dalam barter disyaratkan adanya tempat bertemu kedua orang
yang memiliki kepentingan yang bersesuaian dengan barang yang dimiliki
masing-masing.
2.
Uang sebagai Satuan Hitung
Fungsi uang sebagai satuan hitung (unit
of account) barang dimaksudkan bahwa satuan ukuran yang menentukan besarnya
nilai dari suatu barang komoditas tertentu. Dengan adanya uang nilai suatu
barang dapat dengan mudah dan jelas beberapa nilai barang tersebut dalam satuan
uang. Dengan fungsi ini pula akan mempermudah menentukan perbandingan nilai
suatu barang dengan barang lain.
Terkait fungsi uang ini, Al-Ghazali
memberikan ilustrasi bahwa dalam ekonomi barter orang akan kesulitan menentukan
beberapa harga za’faran jika diperbandingkan dengan unta. Orang tentu akan
kesulitan menentukan perbandingannya. Dalam contoh yang lebih mudah dapat
digambarkan, misalnya seseorang yang memiliki sepotong baju membutuhkan roti
untuk di makan. Maka dengan adanya uang orang tersebut dapat menjual bajunya
lalu dengan uang tersebut ia dapat membeli roti yang dibutuhkan. Jika ternyata
dengan uang hasil penjualan baju tersebut ia dapat mendapatkan sepuluh potong
roti, maka ia tidak perlu mengingat-ingat bahwa nilai sepotong baju sama dengan
sepuluh potong roti.
3.
Uang sebagai Penyimpan Nilai Barang
Untuk fungsi yang ketiga ini
Al-Ghazali menolaknya. Sebab jika uang berfungsi sebagai penyimpan nilai
barang, maka akan mendorong orang melakukan penimbunan uang. Sedangkan praktek
tersebut dalam Islam dan oleh Al-Ghazali jelas-jelas ditentang keras. Hal ini
karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi uang itu sendiri.[30]
Dalam ilmu ekonomi modern dapat
dijelaskan bahwa fungsi uang sebagai sarana penyimpan nilai barang atau
kekayaan akan mendorong orang untuk melakukan praktek spekulasi dengan uang.
Meskipun dalam ekonomi konvensional praktek tersebut tidak dilarang dan
dianggap sebagai bagian dari bisnis yang memberikan keuntungan, namun pada sisi
lain mengandung unsur gamling yang sangat besar. Inilah yang dilarang dalam
Islam dengan istilah garar. Selain itu praktek spekulasi dengan uang juga
berakibat buruk pada perekonomian secara lebih luas.[31]
Inflasi mengandung
implikasi bahwa uang tidak dapat berfungsi sebagai satuan hitungan yang adil
dan benar. Hal itu menyebabkan uang menjadi standar pembayaran tertunda yang
tidak adil dan suatu alat penyimpan nilai yang tidak dapat dipercaya. Inflasi
menyebabkan orang berlaku tidak adil terhadap orang lain, meskipun tidak
disadarinya, dengan memerosotkan daya beli asset-aset moneter secara tidak
diketahui. Hal itu merusak efisiensi sistem moneter dan menimbulkan ongkos
kesejahteraan pada masyarakat. Hal itu meningkatkan konsumsi dan mengurangi
tabungan. Inflasi memperburuk iklim ketidakpastian di mana keputusan-keputusan
ekonomi diambil, menimbulkan kekhawatiran pada formasi modal dan menyebabkan
misalokasi sumber-sumber daya.[32]
Secara teknis istilah
inflasi ini diberi arti ”kenaikan harga-harga barang”. Padahal, kualitas dan
kuantitas suatu barang dari waktu ke waktu tidak berubah. Contoh, setongkol
jagung atau seekor ayam sepanjang zaman tetaplah setongkol jagung dan seekor
ayam yang sama. Tetapi harga setongkol jagung (dalam uang kertas rupiah)
beberapa puluh tahun lalu berharga Rp 5/tongkol, pada 2003 berharga Rp
1000/tongkol, ini membuktikan bahwa yang bermasalah bukanlah nilai barang itu
melainkan nilai uang kertas yang digunakan sebagai alat tukarnya. Para ekonom
menyebutkan peristiwa ini sebagai depresiasi. Inflasi defresiasi adalah dua
sisi dari koin yang berbeda.[33]
Dengan akibat-akibat
buruk yang ditimbulkan tersebut, maka cukup beralasan jika dalam Islam dan juga
disetujui oleh Al-Ghazali, bahwa fungsi uang sebagai alat penyimpan kekayaan
atau nilai barang dianggap tidak ada.
D. Kontribusi Pemikiran Al-Ghazali Mengenai Konsep Uang Dalam Sistem Ekonomi Islam
Perekonomian jazirah
Arabia ketika jaman Rasulullah merupakan ekonomi dagang, bukan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya lainnya
masih terbatas. Lalu lintas perdagangan antar Romawi dan India yang melalui
Arab dikenal sebagai jalur dagang selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia
disebut sebagai jalur dagang utara. Antara Syam dan Yaman disebut sebagai jalur
dagang Utara Selatan.
Perekonomian Arab di
jaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang mengenal barter, bahkan jauh
dari gambaran seperti itu. Pada masa itu telah terjadi :
1.
Valuta asing dari Persia dan Romawi yang
dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar
resminya adalah dinar dan dirham.
2.
Sistem devisa bebas ditetapkan, tidak
ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar dan dirham.
3.
Transaksi tidak tunai diterima luas di
kalangan pedagang.
4.
Cek dan promissory note lazim digunakan,
misalnya Umar bin Khatab r.a. menggunakan instrument ini ketika melakukan impor
barang-barang yang baru dari Mesir ke Madinah.
5.
Instrumen faktory (anjak utang) yang
baru popular pada tahun 1980-an telah dikenal dengan nama al-hiwalah,
tetapi tentunya bebas dari unsur bunga.
Pada masa itu, bila
penerimaan akan uang meningkat, maka dinar dan dirham diimpor. Sebaliknya, bila
permintaan uang turun, barang impor nilai emas dan perak yang terkandung dalam
dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya.
Islam mulai merambah
Eropa dengan berdirinya kekhalifahan Utsmaniyah dan tonggap sejarahnya tercapai
pada tahun 1453 ketika Muhammad al-Fatih menaklukan Konstatinopel dan
terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasaan kekhalifahan Utsmaniyah. Selama
tujuh abad dari abad ke-13 sampai awal abad ke-20, Dinar dan Dirham adalah mata
uang yang paling luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh
wilayah kekuasaan Utsmaniyah yang meliputi tiga benua yaitu Eropa bagian
selatan dan timur, Afrika bagian utara dan sebagian Asia. Apabila ditambah
dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal abad kenabian
Rasulullah saw. (610 M) maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata
uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah peradaban manusia.[34]
Runtutan sejarah
perkembangan sistem moneter modern mengenal beberapa macam standar keuangan
yang silih berganti ditetapkan dalam perekonomian luas. Sistem yang pertama
dikenal adalah standar barang (commodity standar), yaitu suatu sistem
keuangan di mana nilai mata uang suatu negara harus dijamin oleh logam mulia
(emas atau perak) dengan berat tertentu. Sedangkan sistem kedua disebut dengan
standar kepercayaan (fiat standard), yaitu sistem keuangan yang tidak
menyendarkan nilai uang pada jaminan logam mulia. Hal ini terjadi dalam sistem
keuangan yang menggunakan kertas sebagai bahan baku uang, sebagaimana dalam
perekonomian modern sekarang ini. Dalam sistem ini nilai uang hanya didasarkan
atas kepercayaan masyarakat pemakai uang tersebut. Ketentuan yang berlaku dalam
sistem ini adalah bahwa nilai tukar dan nominal sebuah mata uang seringkali
melebihi nilai intrinsiknya.[35]
Sistem keuangan Commodity
standard secara garis besarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu standar
emas dan standar perak. Standar keuangan yang menggunakan satu jenis logam
mulia, baik emas ataupun perak disebut dengan sistem monometallism,
sedangkan jika yang digunakan kedua-duanya disebut dengan bimetallism.[36]
Dalam suatu negara
berlaku dua macam uang yang terbuat dari bahan dasar berbeda (misalnya emas dan
perak). Akan tetapi kedua jenis uang tersebut tidak ditentukan perbandingan
nilainya oleh hukum pemerintah. Kekuatan tarik-menarik supply dan demand
menjadi faktor dominan bahkan penentu bagi perbandingan kurs kedua mata
uang tersebut. Karena itu barang-barang dan jasa memiliki dua macam harga
pembayaran. Karena tidak ada patokan resmi yang dapat dijadikan pegangan dalam
menentukan perbandingan nilai uang tersebut, timbul kesulitan ketika transaksi
dilakukan oleh dua pihak yang menggunakan jenis mata uang yang berbeda, apalagi
nilainya selalau mengalami fluktuasi. Karena kesulitan-kesulitan tersebut orang
kemudian beralih kepada sistem standar uang ganda (bimetallic standard
sistem) dimana dalam suatu negara berlaku sekaligus dua macam mata uang
resmi, lajimnya uang emas dan uang perak.[37]
Dalam wacana pemikiran
filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam
al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang
sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam
sejarah intelektual manusia pada umumnya. Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya
berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan
menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam,
dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.
Fakta ini tidak
mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita
lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun
demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai
cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan
ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat
Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama
soal etika keuangan Islam.
Corak pemikiran ekonomi
Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi
uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi
penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap
perekonomian suatu bangsa. Secara tidak langsung, ia membahas masalah
timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak
dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana
mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan
intervensi pemerintah dan lain-lain.
Dari sini jelas, bahwa
Al-Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan
pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari
pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada
waktu dan tempat di mana dibutuhkan. Al-Ghazali juga memperkenal teori
permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan
menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan
menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas
permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis,
karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan
motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin
mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang
yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Al-Ghazali dan juga
para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung
mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan
pendapatan dan biaya. Bagi Al-Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari
kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih
untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi
motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan
di akhirat kelak.[38]
Dari runtutan sejarah
dan penjelasan sistem keuangan tersebut dapat dilihat bahwa sistem keuangan
yang diterapkan di dunia Islam klasik kemungkinan sekali menganut standar
parallel (periode Nabi dan Abu Bakar), di mana mata uang yang berlaku
adalah emas dan perak, sementara pemegang kekuasaan pemerintah Islam tidak
menetapkan standar nilai uang tertentu, melainkan menyerahkannya pada kekuatan
tarik-menarik supply dan demand, atau juga standard ganda (bimetallism)
yang mulai berlaku sejak masa kekhalifahan Umar ibn Khattab, Sejak masa
pemerintahannya meskipun masih menggunakan dua mata uang, emas dan perak tetapi
pemerintah mengambil otoritas untuk menetapkan standarisasi nilai tukar kedua
jenis mata uang tersebut. Demikian pula halnya yang berlaku pada masa
Al-Ghazali. Ia sendiri mengakui bahwa emas dan perak adalah bahan-bahan terbaik
untuk membuat uang. Yang menarik adalah dia tidak mengharuskan kedua bahan
tersebut sebagai bahan baku uang. Tetapi menurutnya boleh saja pemerintah
mencetak uang dari bahan lain asalkan dapat menjamin stabilitas kursnya.
Pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sistem moneter
yang dikehendaki adalah 1) sistem standard ganda (bimetallism), atau 2)
sistem monometallism dengan menjadikan salah satu uang sebagai uang
resmi, dinar atau dirham.[39]
Dalam penerapan sistem
pertama, bimetallism lazimnya pemerintah harus memenuhi beberapa
persyaratan untuk menjamin dapat berlangsungnya sistem tersebut, seperti telah
dijelaskan sebelumnya. Selain itu pemerintah harus dapat menjaga stabilitas
perbandingan nilai uang emas dan perak agar tetap pada suatu angka pasti.
Sedangkan sistem monometallism seperti telah dijelaskan merupakan suatu
sistem moneter yang menjadikan suatu logam mulia sebagai bahan dasar pembuat
uang. Pada perkembangannya sistem monometallism emas populer di kalangan
masyarakat luas. Hal ini karena kelebihan-kelebihan yang dimilki emas dibanding
dengan bahan lain termasuk perak. Konsep uang Dinar dan Dirham pada zaman
Al-Ghazali tidak sama dipahaminya seperti uang kertas hari ini. Yang dimaksud
uang menurut Al-Ghazali adalah bukan uang kertas (fiat) tetapi uang
dinar dan dirham (real money).
Pemakaian uang kertas (fiat)
oleh perbankan syariah adalah unsur elementer yang membuatnya tidak bersih dan
riba. Di samping itu ada beberapa persoalan lain yang perlu diungkap dari
praktek perbankan syariah saat ini, yang menimbulkan keraguan akan
kesesuaiannya dengan syariah. Pertama, selingkuh kepentingan (conflict of
interst), kedua, soal pengingkaran atas tujuan esensial muamalah yakni
kepastian dan keadilan bertransaksi, sedangkan ketiga adalah de facto dipraktekannya
penciptaan kredit dan dianutnya prinsif time value of money.[40]
Selingkuh kepentingan (conflict
of interst) adalah situasi ketika satu pihak atau seseorang yang sama
dihadapkan pada kepentingan yang berbeda. Akibat dari situasi ini seseorang
atau pihak tersebut akan mengalami kebingungan atau konflik dalam dirinya
sendiri, untuk menentukan (memilih) kepentingan mana yang harus ia ikuti.
Bentuk terjelas dari situasi perselingkuhan kepentingan adalah rangkap jabatan.
Akibat perselingkuhan kepentingan adalah kemungkinan yang sangat besar
timbulnya kerugian pada pihak ketiga atas pilihan yang bias dan tidak jernih
tersebut.
Dalam konteks perbankan
syariah selingkuh kepentingan sangat jelas terlihat dalam posisi bank yang pada
saat bersamaan, bertindak selaku sahibul mal dan mudharib
sekaligus. Ketika bank syariah menghimpun uang dari umat ia menyatakan dirinya
sebagai mudharib, tapi ketika ia menyalurkan uangnya kepada nasabah ia menyulap
posisinya menjadi sahibul mal.
Dewasa ini banyak
pemikir Islam yang gencar melakukan propaganda agar kembali menggunakan mata
uang dinar emas lagi dalam perekonomian luas, khususnya di negara-negara Islam.
Bukan itu saja beberapa negara Islam bahkan telah menyetujui gagasan itu dan
memberikan lampu hijau dengan menyediakan perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software) yang diperlukan yang meliputi
peletakan dasar hukum yang akomodatif bagi pemberlakuan sistem tersebut,
pendirian sistem perbankan yang menganut sistem syariah, pembentukan pasar
modal syariah, pencetakan uang emas dan perak sampai dengan penjajagan
diterapkannya sistem pembayaran dengan dinar dan dirhammelalui sistem
elektronik via internet yang disebut dengan “e-Dinar”. Gagasan untuk kembali
kepada dinar dan dirham didasari atas pertimbangan bahwa keduanya merupakan
jenis uang yang paling liquid. Karena mempunyai standar khusus. Kemungkinan
fluktuasi nilainya meskipun tidak mustahil tetapi sangat kecil. Selain itu
cadangan emas dan perak terbatas dan sangat mudah untuk mengetahui keaslian
uang dinar dan perak.[41]
Merujuk kepada
Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang
penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari
peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat
perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga
perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa
mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu
dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan
uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan
dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih
panjang.
Yang menggembirakan
dewasa ini terdapat data yang menunjukan bahwa penggunaan dinar maupun dirham
sebagai mata uang mulai diterima oleh kalangan luas. Beberapa fakta menunjukan hal itu, antara lain :
a.
Dinar dan Dirham tidak hanya diterima
oleh umat Islam di berbagai Negara, bahkan Negara-negara Baratpun mulai
melirik. Saat ini secara terbatas dinar dan dirham mulai diedarkan
dinegara-negara Spanyol dan Jerman. Dalam waktu dekat juga akan disusul oleh
Swiss, Inggris dan Dubai. Hingga sekarang tidak kurang dari duapuluh dua Negara
telah menggunakannya secara terbatas.
b.
Telah berdiri lembaga internasional yang
memberikan standard an pengawasan terhadap penerapannya, yaitu World Islamic
Trading Organization (WITO).
c.
Malaysia secara resmi juga telah
memberlakukan dinar dalam kebijakan ekonominya, khususnya untuk wilayah
Kelantan dan Penang. Sikap serupa juga diambil oleh parlemen Sudan.
d.
Di Dubai telah berdiri lembaga yang
membolehkan penyimpanan dan pembayaran antar account dengan menggunakan dinar
dan dirham.
e.
Universalitas dan nilai rill emas dan
perak diakui bukan saja oleh umat Islam. Sejumlah lembaga-lembaga sekuler
semisal Swiss America membela diberlakukannya kembali uang logam dengan alasan
keadilan dan kemerdekaan.
f.
Gerakan masyarakat untuk mempopulerkan
kembali dinar dan dirham mulai marak di berbagai belahan dunia.[42]
Dari fakta diatas,
jelas menunjukan bahwa pemikiran Al-Ghazali tentang uang dapat dirasakan oleh
dunia Islam saat ini. Banyak tokoh-tokoh ekonomi Islam generasi sesudah
Al-Ghazali maupun tokoh saat ini yang mengafresiasi terhadap pemikiran konsep
uang Al-Ghazali yang memberlakukan uang emas dan perak (dinar dan dirham).
Meskipun demikian sebagaimana diakui oleh umat Islam sendiri, masih banyak
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sistem uang dinar ini, baik sifatnya
eksternal maupun internal. Kendala eksternal antara lain pandangan khawatir
dari pihak-pihak yang phobia terhadap Islam. Sedangkan kendala internal
selain berupa belum siapnya perangkat penunjang yang diperlukan untuk penerapan
sistem keuangan dinar dan dirham, juga berupa respon dari sebagian umat Islam
sendiri yang masih menganggap gagasan tersebut utopis dan terlalu mengada-ada.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas,
maka dapat dsimpulkan bahwa konsep uang menurut al-Ghazali sebagai nikmat Allah
yang diberikan kepada masyarakat sebagai mediasi untuk mendapatkan barang yang
dibutuhkan serta dalam kerangka untuk memecahkan persoalan barter yang dianggap
tidak relevan dijadikan transaksi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Uang menurut Al-Ghazali menjadi barang yang sangat penting sebagai mediasi
untuk dijadikan alat tukar dan satuan htung oleh masyarakat sehingga dapat
menghindarkan kecenderungan ketidak adilan dalam system perdagangan barter.
Dengan demikian, kontribusi pemikiran Al-Ghazali tentang uang sudah dapat
menginspirasi para tokoh ekonomi untuk dikembangkan menjadi konsep ekonomi yang
bisa di aplikasikan di dunia modern saat ini tanpa melupakan syariat agama.
BAHAN
BACAAN
Abdul Munir
Mulkhan. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan
Kebebasan Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali. Bumi Asmara, Jakarta,
2001.
Adiwarman Azhar Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer. Gema Insan
,. Ekonomi Mikro Islam. Rajawali Pers,
Jakarta, 2008.
,.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
____________________, Ekonomi
Makro Islami. Rajawali Pers, Jakarta, 2011
Ahmad Dimyati.
Teori Keuangan Islam Rekontruksi
Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali.UII Press,Yogyakarta, 2008.
Ahmad Hasan. Mata
Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Rajawali Pers,
Jakarta, 2004.
Arif Hoetoro. Ekonomi
Islam Pengantar Analisis Kebijakan dan Metodologi. Malang, 2007
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam.
Rajawali Pers. Jakarta,2008
Benny Susetyo. Teologi Ekonomi. Averroes Press, Malang,
2006.
Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. Rajawali Pers, Jakarta, 2002..
Imam Al-Ghazzali. Ihya ‘Ulumuddin. Toha putra, Semarang tt.
, Ihya
‘Ulumuddin. Penerjemah purwanto, Marja, Bandung, 2006.
Ismail Nawawi. Ekonomi Islam Perspektif Teori,
Sistem dan Aspek Hukum. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009
Kasmir. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Muhaimin Iqbal. Dinar The Real Money.
Muhamad.
Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Islam, Salemba Empat, Jakarta, 2002.
Muhammad Abdul
Manan. Teori & Praktek Ekonomi Islam. Dana Bakti Wakaf. Yogyakarta,
1997.
Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Bina Insan Press, Jakarta,
2003.
Murthada Muthahhari.
Pandangan Islam Tentang Asuransi & Riba. Pustaka Hidayah, Bandung,
1995.
Mustafa Edwin Nasution, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana, Jakarta, 2007.
M. Umer Chafra. Islam & Tantangan Ekonomi.
Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
.Sistem Moneter Islam.
Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
Nurul Huda, dkk. Ekonomi
Makro Islam Pendekatan Teoritis. Kencana, Jakarta, 2008.
Prathama Rahardja & Mandala Manurung. Pengantar
Ilmu Ekonomi, Mikro Ekonomi & Makro Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, Jakarta, 2008
P3EI UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Rajawali
Pers, Jakarta, 2008
Rimsky K. Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005.
[1] Rimsky K.
Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan
Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1
[2] Dikutip dalam
bukunya Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004) hlm. 420
[3] Rimsky K. Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005), hlm.. 8
[4]
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin, jilid
4 (Semarang:Toha putra, tt) hlm. 88
[5] Ibid
[6]
Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya
(Jakarta : Rajawali Pers, 2002) hlm.13
hlm.
38
[8] Syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke
Praktik.(Jakarta: Gema Insan Press.
2003) hlm. 185
[9]
Dikutip dalam bukunya Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm. 401
[11] Ibn Rusyd, yang
dikutip oleh Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: Rajawali pers, 2005)
hlm.6
[12] Taqyuddin
An-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.(
Surabaya: Risalah Gusti, 2009) hlm. 297
[13] Ibid. hlm.298
[14]
Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali
Pers, 2008) hlm. 19-20
[15]
Syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta: Gema
Insan Press.2001) hlm. 185
[16]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 4 (Semarang: Toha Putra,tt)
hal. 88
[17] Ibid. hlm. 89
[18] Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam
Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII
Press, 2008) hlm.59
[20] Ibid.
[21] Murthada
Muthahhari. Pandangan Islam Tentang Asuransi & Riba.
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995) hlm. 47-48
[23]
Ibid ..hlm. 90
[24] Ibid. hlm. 89
[25] Ibid hlm.91
[26] Ibid hlm.89
[27] Indra Darmawan,Pengantar Uang dan
Perbankan. (Jakarata: Rineka cipta, 1992) hlm. 5-6
[29] Dalam berbagai kesempatan Rasulullah melarang
sistem jual beli barter antar dua jenis komoditas yang berbeda kualitasnya.
Sebaliknya beliau menganjurkan untuk menjual komoditas tersebut dan setelah
mendapatkan sejumlah uang barulah dapat digunakan untuk membeli komoditas yang
lain. Oleh para pemikir Islam praktek tersebut dipahami sebagai anjuran untuk
menggunakan uang dalam transaksi. Sebab dalam sistem barter sangat riskan
terhadap terjadinya praktek riba. Lihat Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hlm. 185
[31] M. Umer
Chafra. Sistem Moneter Islam. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000) hlm. 57-58
[32] Ibid. hlm. 5
[33]
Zaim Saidi & Imran N.
Hosein. Tidak Islamnya Bank Islam Kritik atas Perbankan Syariah. (Jakarta:
Pustaka Adina, 2003) hlm. 36
[35] Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam
Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII
Press, 2008) hlm.134
[36] Ibid. hlm.134-135
[37] Ibid. hlm. 135
[39] Ibid. hlm.140-141
[40] Zaim Saidi & Imran N. Hosein. Tidak
Islamnya Bank Islam Kritik atas Perbankan Syariah. (Jakarta: Pustaka Adina,
2003) hlm. 44-45
[41] Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam
Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII
Press, 2008) hlm.142
[42] Ibid.
+ comments + 1 comments
terima kasih, sangat membantu untuk bahan referensi bacaan.semangat
Post a Comment