KONTRIBUSI PEMIKIRAN AL-GHAZALI MENGENAI KONSEP UANG DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM

KONTRIBUSI PEMIKIRAN AL-GHAZALI MENGENAI KONSEP UANG DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM



Abstrak
            Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisplin. Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secara mendalam termasuk persoalan uang. Aktfitasnya bergumul dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya. Dalam ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya.
            Pemikiran al-Ghazali mengenai konsep uang menunjukan bahwa 1). Al-Ghazali menyatakan bahwa konsep uang menyatakan bahwa konsep uang adalah barang yang dipergunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat tukar untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya. AlGhazali menjelaskan bahwa benda (uang) tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsic). Uang diibaratkan oleh al-Ghazali sebuah cermin yang tidak memilki warna sendiri tapi mampu mencerminkan warna-warna lain. 2). Menurut Al-Ghazali jenis-jenis mata uang terbuat dari emas dan perak yaitu dinar dan dirham, yang merupakan bahan terbaik untuk membuat mata uang. 3). Menurut Al-Ghazali fungsi uang meliputi : qiwamu ad-dunya (satuan hitung), hakim mutawasit (pengukur nilai barang) dan sebagai al-mu’awidah (alat tukar)
Keyword: Uang, Konsep uang, Al-Ghazali
A.    Pendahuluan
Ekonomi Islam sesunguhnya secara inhern merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keIslamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran islam. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber dayanya di alam raya ini. Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Seluruh aspek kehidupan dalam peradaban modern saat ini tidak terlepas dan ditopang sepenuhnya oleh uang.Tidak ada satu peradaban di dunia ini yang tidak mengenal dan menggunakan uang. Kalaupun ada, maka perekonomian dalam peradaban tersebut pasti stagnan dan tidak berkembang.[1]
Menurut Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia karena dengan menggunakan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya. Adapun bentuk mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya terdiri dari emas dan perak. Oleh karena itu, mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak disebut sebagai mata uang.[2]
Lebih lanjut, Ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Artinya, penggunaan fulus hanya diijinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil. Sepanjang sejarah keberadannya uang memainkan peran penting dalam perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efisien.
Menurut Ghufron A. Mas’adi, Dia menjelaskan bahwa dalam hukum islam Fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara luas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi berkurang. Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem barter adalah salah satu pemicu manusia untuk menggunakan cara lain yang lebih efisien, di mana untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam, manusia tidak perlu lagi menunggu orang lain yang mau diajak saling bertukar barang kebutuhan. Mereka mulai menggunakan alat pertukaran dan pembayaran yang disebut dengan uang. Manusia dapat menukarkan uang dengan barang atau jasa yang diinginkannya.[3]
Adapun pemikiran-pemikiran Al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun demikian, pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf karena, pada masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa, dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis dalam mempercayai Yaum al-Hisab (Hari Pembalasan).
Pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Ghazali lebih banyak diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.
Oleh karena itu menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ulumuddin, pengertian uang adalah sebagai berikut :
“ Nikmat Allah (barang) yang dipergunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya, yang secara substansial tidak memiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka (sebagai alat tukar).”[4]
Dari pengertian di atas, di ciptakannya uang menurut Al-Ghazali mempunyai tujuan sebagai alat untuk mengukur semua harta benda yang akan dipertukarkan. Sebagaimana dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menuliskan sebagai berikut :
فَخَلَقَ الله تَعَالى الدَّنَانِيْرُ وَالدَّرَاهِمَ حَاكِمَيْنِ وَمُتَوَسِطِيْنَ بَيْنَ سَائِرِ الْأَمْوَالِ حَتََّي تَقْدِرُ الْأَمْوَالِ بِهِمَا
“ Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga dengan keduanya semua harta bisa diukur”.[5]
Konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.
Konsep keuangan Al-Ghazali merupakan konsep yang unik karena aspek sufistik mengandung dan berpengaruh didalamnya. Konsep keuangan tersebut berdasarkan fungsinya di abad pertengahan, dalam kitab Ihya 'Ulumuddin dalam bab as-Syukru, dimana membicarakan masalah uang yang dipergunakan manusia sebagai nikmat dari Allah swt, dengan sistem barter.
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan "tukar ganti" (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.
Kemudian kekhasan pemikiran Al-Ghazali tentang ekonomi pada umumnya dan khususnya tentang uang menjadi hal yang menarik untuk di kaji dan diteliti, karena selama ini yang lebih dikenal akan sosok Al-Ghazali di kalangan umat Islam adalah seorang tokoh tasawuf dan filsafat. Bahkan, Al-Ghazali banyak diposisikan tidak lebih dari sekedar seorang ulama sufi yang kolot. Kehidupan dan pemikiran mereka lebih banyak dipahami hanya berorientasi akherat semata, menyepi dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia yang penuh dengan aktifitas duniawi. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar apabila disimak dari sejumlah karya-karya beliau yang ternyata cukup kaya wawasan dari berbagai aspek kehidupan manusia
B.     Konsep Uang
Kalau membicarakan mengenai pengertian dan definisi tentang Uang, banyak para ahli baik di jaman Al-Ghazali maupun di jaman sesudahnya memberikan definisinya tentang uang dengan mempertimbangkan fungsi dan tujuannya. Uang adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran hutang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa, Dengan kata lain bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam melakukan pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah tertentu saja.[6]
Di dalam Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kita kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang kita sama artikan dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak (masyarakat luas). Uang bukan barang monopoli seseorang, jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang per orang.
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan proses jual beli hasil produksi. Dengan uang hasil penjualannya itu ia dapat membeli barang-barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli.[7]
Menurut Syafi’i Antonio, uang pada hakikatnya adalah milik Allah Swt yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan kita dan masyarakat. Oleh karenanya, menumbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) tidak dikehendaki karena berarti mengurangi jumlah uang beredar. [8] Dalam Islam, uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian.
Kemudian seperti halnya Ibnu Khaldun, seorang tokoh di jaman Al-Ghazali, menjelaskan mengenai konsep uang bahwa kekayaan suatu negara bukanlah ditentukan dari banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara  tersebut dan oleh neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, namun bila hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, menimbulkan permintaan atas faktor-faktor produksi lainnya.[9]
Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali pemerintah menetapkan nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubahnya.[10]
Kemudian Ibn Rusyd memandang bahwa uang sebagai alat untuk mengukur harga komoditas. Nilai harga setiap barang dikenal dengan unit mata uang. Lebih lanjut Ibn Rusyd berkata, ketika seseorang susah menemukan persamaan antara barang-barang yang berbeda, maka jadikanlah dinar dan dirham sebagai alat untuk mengukurnya.[11]
Sedangkan menurut Taqyuddin an-Nabhani, uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Oleh karena itu, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. Misalkan, harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang masing-masing merupakan perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang. Sementara promis, saham dan sejenisnya tidak bisa disebut sebagai uang.[12]
Dari sekian definisi yang diutarakan, kita bisa membedakan dalam tiga segi: pertama, definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai, media pertukaran dan alat pembayaran yang tertunda. Kedua, definisi uang dengan melihat karakteristiknya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan perundangan sebagai segala sesuatu yang memilki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban. Di sini kita menemukan bahwa para ahli ekonomi membedakan antara uang dan mata uang. Mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat dapat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang (uang perbankan). Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tapi tidak setiap uang itu mata uang.
Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang sangat penting perannya dalam perekonomian masyarakat. Karena itu ketika uang ditarik dari sirkulasinya, maka ia akan kehilangan fungsi pentingnya tersebut. Praktek menimbun uang dalam Islam disebut dengan istilah kanz al-mal dan dalam istilah ekonomi konvensional disebut dengan money hoarding atau kadang-kadang cukup disebut hoarding, yaitu keinginan seseorang untuk menahan uang tunai. Istilah ini seringkali dikacaukan dengan ihtikar. Sebab ihtikar adalah penimbunan barang-barang lain selain emas dan perak, biasanya berupa kebutuhan pokok masyarakat atau kebutuhan vital lainnya.[13] Menurut Al-Ghazali larangan ihtikar bersifat mutlak dan terkait dengan aspek, yaitu jenis harta yang ditimbun dan waktu penimbunan. Jenis-jenis harta yang diharamkan ditimbun adalah makanan pokok. Sedangkan jenis harta yang lain, meskipun dapat dimakan menurutnya masih diperdebatkan.
Namun, ketika uang dimaknai dalam kerangka flow concept, maka sebenarnya sebuah mata uang hanya akan berfungsi sebagai uang apabila ia beredar atau mengalir dalam masyarakat.[14] Dengan kata lain ketika uang tidak beredar maka ia tidak dapat disebut sebagi uang. Konsep uang beredar ini erat kaitannya sekaligus sebagi indikator bagi jumlah pendapatan (income) masyarakat. Jelasnya bahwa semakin cepat perputaran uang dalam masyarakat, semakin tinggi pula pendapatan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena seringnya transaksi yang berlangsung .[15] Ini berarti pula bahwa dalam pandangan teori flow concept tingkat pendapatan masyarakat tidak semata-mata ditunjukan olah jumlah uang yang dipegang, melainkan jumlah uang yang dipegang masyarakat harus benar-benar produktif, yang diindikasikan oleh tingkat perputarannya, untuk dapat dijadikan tolak ukur bagi tingkat pendapatan tersebut.
Kemudian, Al-Ghazali pada dasarnya tidak menjelaskan tentang pengertian Uang secara utuh tetapi kita dapat  mengutip pernyataan Al-Ghazali tentang uang menurutnya, uang adalah nikmat Allah yang dipergunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya, yang secara substansial tidak memeiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka (sebagai alat tukar). Sebagaimana dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menuliskan sebagai berikut :
فَخَلَقَ الله تَعَالى الدَّنَانِيْرُ وَالدَّرَاهِمَ حَاكِمَيْنِ وَمُتَوَسِطِيْنَ بَيْنَ سَائِرِ الْأَمْوَالِ حَتََّي تَقْدِرُ الْأَمْوَالِ بِهِمَا

“ Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penngah diantara seluruh harta sehingga dengan keduanya semua harta bisa diukur”.[16]
Menurut beliau, uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya fungsi uang ini adalah penjabaran dari fungsi uang sebagai sarana tukar-menukar. Oleh karena itu beliau mengibaratkan uang dalam kitabnya sebagai berikut :
…” كَا اْلمِرْاَةُ لَا لَوْنٍ لهَاَ وَتَحْكَى كُلَّ لَوْنٍ “….
“…Uang bagaikan cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna…”.[17] Artinya, dengan melihat kriteria tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam memberikan definisi uang, Al-Ghazali tidak hanya menekankan pada aspek fungsi. Definisi yang demikian lebih komprehensif dibanding dengan batasan-batasan yang dikemukakan oleh kebanyakan ekonom konvensional.
Inilah yang kemudian menjadi konsep dasar keuangan Al-Ghazali. Dari pernyataan tersebut dapat diambil suatu definisi uang menurut Al-Ghazali, yaitu uang adalah:
1.   Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang lain. Dengan kata  lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai media pertukaran (medium of exchange).
2. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik).
3. Nilai benda yang berfungsi sebagai uang ditentukan terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang lebih berperan dalam benda yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya.[18]
Penjelasan tersebut menunjukan bahwa Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat komprehensif mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai:
1.      Kurang memilki angka penyebut yang sama (lack of common denominator).
2.      Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)
3.      Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants).[19]

Kemudian berbicara barter, walaupun dapat dilakukan barter menjadi sangat tidak efesien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang (seperti unta dan za’faran). Pemilihan sebagai contoh tersebut mencerminkan pemahaman Al-Ghazali yang sangat baik terhadap problem barter. Ia menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak aka nada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanfa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama.[20]
Dalam hal ini Murtadha Muthahhari, menjelaskan bahwa nilai sebuah mata uang terkait erat dengan wujud uang itu sendiri. Hal demikian dikarenakan wujud suatu barang sangat menentukan nilai dari barang itu sendiri. Menurutnya uang memilki beberapa kategori wujud, yaitu: wujud hakiki (real existence), wujud Zihni (mental existence), dan wujud relatif (relatife existence). Real existence bagi mata uang ditunjukan oleh bahan pembuat uang itu sendiri. Seperti emas, perak, tembaga, kertas dan lain-lain. Nilai uang yang ditunjukan oleh real existence ini disebut dengan nilai intrinsik atau nilai barang. Sedangkan mental existence mata uang ditunjukan oleh nilai atau harga uang terhadap barang-barang lain.[21] Misalnya seratus rupiah sama nilainya dengan dua buah jarum tangan. Dalam hal ini nilai uang berbanding terbalik dengan nilai barang. Maksudnya adalah jika nilai uang menguat maka nilai barang mengalami penurunan, sebaliknya jika nilai uang melemah maka nilai barang mengalami kenaikan..
Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.
2.      Problematika riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Alasan mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
3.      Jual beli mata uang. Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.


C.    Pembahasan Fungsi Uang Menurut Al-Ghazali
                        Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa, Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya ‘Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media pertukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi.
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung tentang beberapa fungsi uang menurut Al-Ghazali. Dalam hal ini Al-Ghazali menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki uang. Fungsi-fungsi uang tersebut adalah sebagai qiwam ad-dunya (satuan hitung), hakim mutawasit (pengukur nilai barang) dan sebagai al-mu’awidah (alat tukar/medium of exchange).[22]
Fungsi uang sebagai qiwam ad-dunya, artinya bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai barang sekaligus membandingkannya dengan barang yang lain. Telah di singgung sebelumnya, bahwa Al-Ghazali mengibaratkan uang dengan sebuah cermin yang tidak memiliki warna sendiri tetapi mampu mencerminkan warna-warna yang lain.[23] Demikian dengan uang, sebenarnya tidak memiliki nilai sendiri tetapi dapat menunjukan perbandingan nilai suatu barang dengan barang yang lain. Fungsi ini juga menghapus kesulitan-kesulitan yang timbul dalam barter, yaitu dalam hal penentuan perbandingan nilai barang yang akan ditukar. Al-Ghazali menyebut bahwa uang laksana hakim yang adil atau hakim mutawasit. Maksudnya tidak lain adalah uang dapat dijadikan standar yang jelas dalam menentukan nilai barang yang berbeda.[24] Misalnya satu kilogram beras nilainya sama dengan satu setengah kilogram gandum. Hal ini dapat diketahui dengan jelas apabila dinyatakan dalam satuan nilai uang, misalnya tiga ribu rupiah. Sedangkan fungsi uang sebagai alat at-tabadul atau al-mu’awidah, adalah bahwa uang merupakan sarana pertukaran barang dalam suatu transaksi atau sering disebut dengan medium of exchange.[25]
Uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya fungsi ini adalah penjabaran dari fungsi uang sebagai sarana tukar-menukar. Karena itu dinyatakan “uang membeli barang dan barang tidak membeli uang”. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki sepotong pakaian, maka yang ia miliki hanyalah sepotong pakaian tersebut, maka yang ia miliki uang seharga uang tersebut, maka ia memilki uang sekaligus dapat membeli pakaian itu dengan uang yang dimiliki dan dapat juga membeli barang lain yang senilai.[26] Fungsi-fungsi uang menurut Al-Ghazali sebagaimana disebutkan di atas tidak lepas dari konsep dasarnya mengenai uang itu sendiri, yaitu uang semata-mata hanya merupakan alat tukar dalam transaksi. Hal ini juga terkait dengan konsep nilai uang.
Fungsi-fungsi tersebut jika dibandingkan dengan konsep yang ada dalam ekonomi konvensional adalah sebagai berikut :
Ekonomi Konvensional
Ekonomi Al-Ghazali
Medium of exchange
Medium of exchange (al-mu’awidah)
Unit of account
Unit of account (qiwam ad-dunya)
Measure of value
Measure of value (hakim mutawasit)
Store of value
Sarana mencapai tujuan/mendapatkan barang lain

Dalam bagan di atas dapat dilihat bahwa fungsi uang dalam konsep Al-Ghazali hanya dua macam, yaitu sebagai medium of exchange (alat tukar) dan unit of account (satuan hitung). Dua fungsi uang dalam ilmu ekonomi dikenal dengan fungsi utama uang. Selain kedua fungsi utama tersebut dalam konsep ekonomi konvensional juga mengenal fungsi tambahan atau turunan (derivative functions), yaitu uang sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value) dan alat pembayaran tangguh (standard of defereded payment).[27] Fungsi derivative uang tidak dikenal dalam konsep Al-Ghazali dan ekonom Islam pada umumnya.
1.      Uang sebagai Alat Tukar
Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima sebagai medium of exchange, maka uang tetap diperlukan sebagai unit of account.[28] Misalnya untuk mengetahui apakah satu baju sama nilainya dengan lima buah kue. Ia juga menyatakan bahwa uang itu seperti kaca yang tidak memiliki warna sendiri, tapi mampu memantulkan semua macam warna. Dengan kata lain uang tidak memiliki harga tapi merefleksikan semua harga.
Fungsi uang sebagai media pertukaran sangat penting terutama setelah disadarinya berbagai kesulitan yang muncul dalam sistem perekonomian barter.[29] Kesulitan yang dimaksud adalah bahwa dalam barter sulit untuk menentukan nilai perbandingan antara dua benda yang akan ditukarkan. Selain itu dalam barter disyaratkan adanya bertemunya dua barang yang berbeda dan dua kepentingan yang sesuai antara pemilik barang yang satu dengan yang lainnya. Kesulitan selanjutnya adalah dalam barter disyaratkan adanya tempat bertemu kedua orang yang memiliki kepentingan yang bersesuaian dengan barang yang dimiliki masing-masing.
2.      Uang sebagai Satuan Hitung
Fungsi uang sebagai satuan hitung (unit of account) barang dimaksudkan bahwa satuan ukuran yang menentukan besarnya nilai dari suatu barang komoditas tertentu. Dengan adanya uang nilai suatu barang dapat dengan mudah dan jelas beberapa nilai barang tersebut dalam satuan uang. Dengan fungsi ini pula akan mempermudah menentukan perbandingan nilai suatu barang dengan barang lain.
Terkait fungsi uang ini, Al-Ghazali memberikan ilustrasi bahwa dalam ekonomi barter orang akan kesulitan menentukan beberapa harga za’faran jika diperbandingkan dengan unta. Orang tentu akan kesulitan menentukan perbandingannya. Dalam contoh yang lebih mudah dapat digambarkan, misalnya seseorang yang memiliki sepotong baju membutuhkan roti untuk di makan. Maka dengan adanya uang orang tersebut dapat menjual bajunya lalu dengan uang tersebut ia dapat membeli roti yang dibutuhkan. Jika ternyata dengan uang hasil penjualan baju tersebut ia dapat mendapatkan sepuluh potong roti, maka ia tidak perlu mengingat-ingat bahwa nilai sepotong baju sama dengan sepuluh potong roti.
3.      Uang sebagai Penyimpan Nilai Barang
Untuk fungsi yang ketiga ini Al-Ghazali menolaknya. Sebab jika uang berfungsi sebagai penyimpan nilai barang, maka akan mendorong orang melakukan penimbunan uang. Sedangkan praktek tersebut dalam Islam dan oleh Al-Ghazali jelas-jelas ditentang keras. Hal ini karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi uang itu sendiri.[30]
Dalam ilmu ekonomi modern dapat dijelaskan bahwa fungsi uang sebagai sarana penyimpan nilai barang atau kekayaan akan mendorong orang untuk melakukan praktek spekulasi dengan uang. Meskipun dalam ekonomi konvensional praktek tersebut tidak dilarang dan dianggap sebagai bagian dari bisnis yang memberikan keuntungan, namun pada sisi lain mengandung unsur gamling yang sangat besar. Inilah yang dilarang dalam Islam dengan istilah garar. Selain itu praktek spekulasi dengan uang juga berakibat buruk pada perekonomian secara lebih luas.[31]
Inflasi mengandung implikasi bahwa uang tidak dapat berfungsi sebagai satuan hitungan yang adil dan benar. Hal itu menyebabkan uang menjadi standar pembayaran tertunda yang tidak adil dan suatu alat penyimpan nilai yang tidak dapat dipercaya. Inflasi menyebabkan orang berlaku tidak adil terhadap orang lain, meskipun tidak disadarinya, dengan memerosotkan daya beli asset-aset moneter secara tidak diketahui. Hal itu merusak efisiensi sistem moneter dan menimbulkan ongkos kesejahteraan pada masyarakat. Hal itu meningkatkan konsumsi dan mengurangi tabungan. Inflasi memperburuk iklim ketidakpastian di mana keputusan-keputusan ekonomi diambil, menimbulkan kekhawatiran pada formasi modal dan menyebabkan misalokasi sumber-sumber daya.[32]
Secara teknis istilah inflasi ini diberi arti ”kenaikan harga-harga barang”. Padahal, kualitas dan kuantitas suatu barang dari waktu ke waktu tidak berubah. Contoh, setongkol jagung atau seekor ayam sepanjang zaman tetaplah setongkol jagung dan seekor ayam yang sama. Tetapi harga setongkol jagung (dalam uang kertas rupiah) beberapa puluh tahun lalu berharga Rp 5/tongkol, pada 2003 berharga Rp 1000/tongkol, ini membuktikan bahwa yang bermasalah bukanlah nilai barang itu melainkan nilai uang kertas yang digunakan sebagai alat tukarnya. Para ekonom menyebutkan peristiwa ini sebagai depresiasi. Inflasi defresiasi adalah dua sisi dari koin yang berbeda.[33]
Dengan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan tersebut, maka cukup beralasan jika dalam Islam dan juga disetujui oleh Al-Ghazali, bahwa fungsi uang sebagai alat penyimpan kekayaan atau nilai barang dianggap tidak ada.

D.    Kontribusi Pemikiran Al-Ghazali Mengenai Konsep Uang Dalam Sistem Ekonomi Islam

Perekonomian jazirah Arabia ketika jaman Rasulullah merupakan ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya lainnya masih terbatas. Lalu lintas perdagangan antar Romawi dan India yang melalui Arab dikenal sebagai jalur dagang selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang utara. Antara Syam dan Yaman disebut sebagai jalur dagang Utara Selatan.
Perekonomian Arab di jaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Pada masa itu telah terjadi :
1.      Valuta asing dari Persia dan Romawi yang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resminya adalah dinar dan dirham.
2.      Sistem devisa bebas ditetapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar dan dirham.
3.      Transaksi tidak tunai diterima luas di kalangan pedagang.
4.      Cek dan promissory note lazim digunakan, misalnya Umar bin Khatab r.a. menggunakan instrument ini ketika melakukan impor barang-barang yang baru dari Mesir ke Madinah.
5.      Instrumen faktory (anjak utang) yang baru popular pada tahun 1980-an telah dikenal dengan nama al-hiwalah, tetapi tentunya bebas dari unsur bunga.
Pada masa itu, bila penerimaan akan uang meningkat, maka dinar dan dirham diimpor. Sebaliknya, bila permintaan uang turun, barang impor nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya.
Islam mulai merambah Eropa dengan berdirinya kekhalifahan Utsmaniyah dan tonggap sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad al-Fatih menaklukan Konstatinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasaan kekhalifahan Utsmaniyah. Selama tujuh abad dari abad ke-13 sampai awal abad ke-20, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh wilayah kekuasaan Utsmaniyah yang meliputi tiga benua yaitu Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara dan sebagian Asia. Apabila ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal abad kenabian Rasulullah saw. (610 M) maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah peradaban manusia.[34]
Runtutan sejarah perkembangan sistem moneter modern mengenal beberapa macam standar keuangan yang silih berganti ditetapkan dalam perekonomian luas. Sistem yang pertama dikenal adalah standar barang (commodity standar), yaitu suatu sistem keuangan di mana nilai mata uang suatu negara harus dijamin oleh logam mulia (emas atau perak) dengan berat tertentu. Sedangkan sistem kedua disebut dengan standar kepercayaan (fiat standard), yaitu sistem keuangan yang tidak menyendarkan nilai uang pada jaminan logam mulia. Hal ini terjadi dalam sistem keuangan yang menggunakan kertas sebagai bahan baku uang, sebagaimana dalam perekonomian modern sekarang ini. Dalam sistem ini nilai uang hanya didasarkan atas kepercayaan masyarakat pemakai uang tersebut. Ketentuan yang berlaku dalam sistem ini adalah bahwa nilai tukar dan nominal sebuah mata uang seringkali melebihi nilai intrinsiknya.[35]
Sistem keuangan Commodity standard secara garis besarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu standar emas dan standar perak. Standar keuangan yang menggunakan satu jenis logam mulia, baik emas ataupun perak disebut dengan sistem monometallism, sedangkan jika yang digunakan kedua-duanya disebut dengan bimetallism.[36]
Dalam suatu negara berlaku dua macam uang yang terbuat dari bahan dasar berbeda (misalnya emas dan perak). Akan tetapi kedua jenis uang tersebut tidak ditentukan perbandingan nilainya oleh hukum pemerintah. Kekuatan tarik-menarik supply dan demand menjadi faktor dominan bahkan penentu bagi perbandingan kurs kedua mata uang tersebut. Karena itu barang-barang dan jasa memiliki dua macam harga pembayaran. Karena tidak ada patokan resmi yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan perbandingan nilai uang tersebut, timbul kesulitan ketika transaksi dilakukan oleh dua pihak yang menggunakan jenis mata uang yang berbeda, apalagi nilainya selalau mengalami fluktuasi. Karena kesulitan-kesulitan tersebut orang kemudian beralih kepada sistem standar uang ganda (bimetallic standard sistem) dimana dalam suatu negara berlaku sekaligus dua macam mata uang resmi, lajimnya uang emas dan uang perak.[37]
Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya. Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.
Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.
Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa. Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.
Dari sini jelas, bahwa Al-Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana dibutuhkan. Al-Ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Al-Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Al-Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak.[38]
Dari runtutan sejarah dan penjelasan sistem keuangan tersebut dapat dilihat bahwa sistem keuangan yang diterapkan di dunia Islam klasik kemungkinan sekali menganut standar parallel (periode Nabi dan Abu Bakar), di mana mata uang yang berlaku adalah emas dan perak, sementara pemegang kekuasaan pemerintah Islam tidak menetapkan standar nilai uang tertentu, melainkan menyerahkannya pada kekuatan tarik-menarik supply dan demand, atau juga standard ganda (bimetallism) yang mulai berlaku sejak masa kekhalifahan Umar ibn Khattab, Sejak masa pemerintahannya meskipun masih menggunakan dua mata uang, emas dan perak tetapi pemerintah mengambil otoritas untuk menetapkan standarisasi nilai tukar kedua jenis mata uang tersebut. Demikian pula halnya yang berlaku pada masa Al-Ghazali. Ia sendiri mengakui bahwa emas dan perak adalah bahan-bahan terbaik untuk membuat uang. Yang menarik adalah dia tidak mengharuskan kedua bahan tersebut sebagai bahan baku uang. Tetapi menurutnya boleh saja pemerintah mencetak uang dari bahan lain asalkan dapat menjamin stabilitas kursnya. Pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sistem moneter yang dikehendaki adalah 1) sistem standard ganda (bimetallism), atau 2) sistem monometallism dengan menjadikan salah satu uang sebagai uang resmi, dinar atau dirham.[39]
Dalam penerapan sistem pertama, bimetallism lazimnya pemerintah harus memenuhi beberapa persyaratan untuk menjamin dapat berlangsungnya sistem tersebut, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu pemerintah harus dapat menjaga stabilitas perbandingan nilai uang emas dan perak agar tetap pada suatu angka pasti. Sedangkan sistem monometallism seperti telah dijelaskan merupakan suatu sistem moneter yang menjadikan suatu logam mulia sebagai bahan dasar pembuat uang. Pada perkembangannya sistem monometallism emas populer di kalangan masyarakat luas. Hal ini karena kelebihan-kelebihan yang dimilki emas dibanding dengan bahan lain termasuk perak. Konsep uang Dinar dan Dirham pada zaman Al-Ghazali tidak sama dipahaminya seperti uang kertas hari ini. Yang dimaksud uang menurut Al-Ghazali adalah bukan uang kertas (fiat) tetapi uang dinar dan dirham (real money).
Pemakaian uang kertas (fiat) oleh perbankan syariah adalah unsur elementer yang membuatnya tidak bersih dan riba. Di samping itu ada beberapa persoalan lain yang perlu diungkap dari praktek perbankan syariah saat ini, yang menimbulkan keraguan akan kesesuaiannya dengan syariah. Pertama, selingkuh kepentingan (conflict of interst), kedua, soal pengingkaran atas tujuan esensial muamalah yakni kepastian dan keadilan bertransaksi, sedangkan ketiga adalah de facto dipraktekannya penciptaan kredit dan dianutnya prinsif time value of money.[40]
Selingkuh kepentingan (conflict of interst) adalah situasi ketika satu pihak atau seseorang yang sama dihadapkan pada kepentingan yang berbeda. Akibat dari situasi ini seseorang atau pihak tersebut akan mengalami kebingungan atau konflik dalam dirinya sendiri, untuk menentukan (memilih) kepentingan mana yang harus ia ikuti. Bentuk terjelas dari situasi perselingkuhan kepentingan adalah rangkap jabatan. Akibat perselingkuhan kepentingan adalah kemungkinan yang sangat besar timbulnya kerugian pada pihak ketiga atas pilihan yang bias dan tidak jernih tersebut.
Dalam konteks perbankan syariah selingkuh kepentingan sangat jelas terlihat dalam posisi bank yang pada saat bersamaan, bertindak selaku sahibul mal dan mudharib sekaligus. Ketika bank syariah menghimpun uang dari umat ia menyatakan dirinya sebagai mudharib, tapi ketika ia menyalurkan uangnya kepada nasabah ia menyulap posisinya menjadi sahibul mal.
Dewasa ini banyak pemikir Islam yang gencar melakukan propaganda agar kembali menggunakan mata uang dinar emas lagi dalam perekonomian luas, khususnya di negara-negara Islam. Bukan itu saja beberapa negara Islam bahkan telah menyetujui gagasan itu dan memberikan lampu hijau dengan menyediakan perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) yang diperlukan yang meliputi peletakan dasar hukum yang akomodatif bagi pemberlakuan sistem tersebut, pendirian sistem perbankan yang menganut sistem syariah, pembentukan pasar modal syariah, pencetakan uang emas dan perak sampai dengan penjajagan diterapkannya sistem pembayaran dengan dinar dan dirhammelalui sistem elektronik via internet yang disebut dengan “e-Dinar”. Gagasan untuk kembali kepada dinar dan dirham didasari atas pertimbangan bahwa keduanya merupakan jenis uang yang paling liquid. Karena mempunyai standar khusus. Kemungkinan fluktuasi nilainya meskipun tidak mustahil tetapi sangat kecil. Selain itu cadangan emas dan perak terbatas dan sangat mudah untuk mengetahui keaslian uang dinar dan perak.[41]
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Yang menggembirakan dewasa ini terdapat data yang menunjukan bahwa penggunaan dinar maupun dirham sebagai mata uang mulai diterima oleh kalangan luas. Beberapa  fakta menunjukan hal itu, antara lain :
a.       Dinar dan Dirham tidak hanya diterima oleh umat Islam di berbagai Negara, bahkan Negara-negara Baratpun mulai melirik. Saat ini secara terbatas dinar dan dirham mulai diedarkan dinegara-negara Spanyol dan Jerman. Dalam waktu dekat juga akan disusul oleh Swiss, Inggris dan Dubai. Hingga sekarang tidak kurang dari duapuluh dua Negara telah menggunakannya secara terbatas.
b.      Telah berdiri lembaga internasional yang memberikan standard an pengawasan terhadap penerapannya, yaitu World Islamic Trading Organization (WITO).
c.       Malaysia secara resmi juga telah memberlakukan dinar dalam kebijakan ekonominya, khususnya untuk wilayah Kelantan dan Penang. Sikap serupa juga diambil oleh parlemen Sudan.
d.      Di Dubai telah berdiri lembaga yang membolehkan penyimpanan dan pembayaran antar account dengan menggunakan dinar dan dirham.
e.       Universalitas dan nilai rill emas dan perak diakui bukan saja oleh umat Islam. Sejumlah lembaga-lembaga sekuler semisal Swiss America membela diberlakukannya kembali uang logam dengan alasan keadilan dan kemerdekaan.
f.       Gerakan masyarakat untuk mempopulerkan kembali dinar dan dirham mulai marak di berbagai belahan dunia.[42]
Dari fakta diatas, jelas menunjukan bahwa pemikiran Al-Ghazali tentang uang dapat dirasakan oleh dunia Islam saat ini. Banyak tokoh-tokoh ekonomi Islam generasi sesudah Al-Ghazali maupun tokoh saat ini yang mengafresiasi terhadap pemikiran konsep uang Al-Ghazali yang memberlakukan uang emas dan perak (dinar dan dirham). Meskipun demikian sebagaimana diakui oleh umat Islam sendiri, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sistem uang dinar ini, baik sifatnya eksternal maupun internal. Kendala eksternal antara lain pandangan khawatir dari pihak-pihak yang phobia terhadap Islam. Sedangkan kendala internal selain berupa belum siapnya perangkat penunjang yang diperlukan untuk penerapan sistem keuangan dinar dan dirham, juga berupa respon dari sebagian umat Islam sendiri yang masih menganggap gagasan tersebut utopis dan terlalu mengada-ada.

E.     Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat dsimpulkan bahwa konsep uang menurut al-Ghazali sebagai nikmat Allah yang diberikan kepada masyarakat sebagai mediasi untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan serta dalam kerangka untuk memecahkan persoalan barter yang dianggap tidak relevan dijadikan transaksi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Uang menurut Al-Ghazali menjadi barang yang sangat penting sebagai mediasi untuk dijadikan alat tukar dan satuan htung oleh masyarakat sehingga dapat menghindarkan kecenderungan ketidak adilan dalam system perdagangan barter. Dengan demikian, kontribusi pemikiran Al-Ghazali tentang uang sudah dapat menginspirasi para tokoh ekonomi untuk dikembangkan menjadi konsep ekonomi yang bisa di aplikasikan di dunia modern saat ini tanpa melupakan syariat agama.



BAHAN BACAAN
Abdul Munir Mulkhan. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali. Bumi Asmara, Jakarta, 2001.
Adiwarman Azhar Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insan
                                          ,. Ekonomi Mikro Islam. Rajawali Pers, Jakarta,    2008.
                                          ,. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Rajawali Pers, Jakarta,    2004.
____________________,  Ekonomi Makro Islami. Rajawali Pers, Jakarta, 2011
Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam  Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali.UII Press,Yogyakarta, 2008.
Ahmad Hasan. Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
Arif Hoetoro. Ekonomi Islam Pengantar Analisis Kebijakan dan Metodologi. Malang, 2007
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Pers. Jakarta,2008
Benny Susetyo. Teologi Ekonomi. Averroes Press, Malang, 2006.
Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. Rajawali Pers, Jakarta, 2002..
Imam Al-Ghazzali. Ihya ‘Ulumuddin. Toha putra, Semarang tt.
                   , Ihya ‘Ulumuddin. Penerjemah purwanto, Marja, Bandung, 2006.
Ismail Nawawi. Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009
Kasmir. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Muhaimin Iqbal. Dinar The Real Money.
Muhamad. Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Islam, Salemba Empat, Jakarta, 2002.
Muhammad Abdul Manan. Teori & Praktek Ekonomi Islam. Dana Bakti Wakaf. Yogyakarta, 1997.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Bina Insan Press, Jakarta, 2003.
Murthada Muthahhari. Pandangan Islam Tentang Asuransi & Riba. Pustaka Hidayah, Bandung, 1995.
Mustafa Edwin Nasution, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana, Jakarta, 2007.
M. Umer Chafra. Islam & Tantangan Ekonomi. Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
                           .Sistem Moneter Islam. Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
Nurul Huda, dkk. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Kencana, Jakarta, 2008.
Prathama Rahardja & Mandala Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi, Mikro Ekonomi & Makro Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2008
P3EI UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Rimsky K. Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.



[1]  Rimsky K. Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1
[2]  Dikutip dalam bukunya Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm. 420
[3]  Rimsky K. Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka   Utama, 2005), hlm.. 8
[4]  Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin, jilid 4 (Semarang:Toha putra,  tt) hlm. 88
[5] Ibid

[6]  Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta : Rajawali Pers, 2002) hlm.13
[7]  Muhamad. Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Islam, (Jakarta: Salemba Empat,  2002)
hlm. 38
[8]  Syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik.(Jakarta:  Gema Insan Press. 2003) hlm. 185
[9]  Dikutip dalam bukunya Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm. 401
[10] Muhamad. Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002) hlm. 26
[11] Ibn Rusyd, yang dikutip oleh Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: Rajawali pers, 2005) hlm.6
[12]  Taqyuddin An-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.( Surabaya:  Risalah Gusti, 2009) hlm. 297

[13]  Ibid. hlm.298
[14]  Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)  hlm. 19-20
[15]  Syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta: Gema Insan Press.2001) hlm. 185
[16]  Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 4 (Semarang: Toha Putra,tt) hal. 88
[17]  Ibid. hlm. 89
[18]  Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam  Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII Press, 2008) hlm.59
[19]  Adiwarman A.Karim.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)  hlm. 335
[20]  Ibid.
[21]  Murthada Muthahhari. Pandangan Islam Tentang Asuransi & Riba. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995) hlm. 47-48
[22]  Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 4 (Semarang: Toha Putra,tt)  hlm. 88-91
[23]  Ibid ..hlm. 90
[24]  Ibid. hlm. 89
[25]  Ibid hlm.91
[26]  Ibid hlm.89
[27]   Indra Darmawan,Pengantar Uang dan Perbankan. (Jakarata: Rineka cipta, 1992) hlm. 5-6
[28]  Al-Ghazali, op.cit.  hlm. 88-91
[29]  Dalam berbagai kesempatan Rasulullah melarang sistem jual beli barter antar dua jenis komoditas yang berbeda kualitasnya. Sebaliknya beliau menganjurkan untuk menjual komoditas tersebut dan setelah mendapatkan sejumlah uang barulah dapat digunakan untuk membeli komoditas yang lain. Oleh para pemikir Islam praktek tersebut dipahami sebagai anjuran untuk menggunakan uang dalam transaksi. Sebab dalam sistem barter sangat riskan terhadap terjadinya praktek riba. Lihat Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah  dari Teori ke Praktik, hlm. 185
[30]  Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2 (Semarang: Toha Putra,tt)  hlm. 75
[31]  M. Umer Chafra. Sistem Moneter Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hlm. 57-58
[32]  Ibid. hlm. 5
[33] Zaim Saidi & Imran N. Hosein. Tidak Islamnya Bank Islam Kritik atas Perbankan Syariah. (Jakarta: Pustaka Adina, 2003) hlm. 36

[34]  Muhaimin Iqbal. Dinar The Real Money. (Jakarta: Gema Insani, 2009) hlm. 30-31
[35]  Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam  Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII Press, 2008) hlm.134
[36]  Ibid. hlm.134-135
[37]  Ibid. hlm. 135
[38]  Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 2 ,hlm.75-76, 84
[39]  Ibid. hlm.140-141
[40]  Zaim Saidi & Imran N. Hosein. Tidak Islamnya Bank Islam Kritik atas Perbankan Syariah. (Jakarta: Pustaka Adina, 2003) hlm. 44-45
[41]  Ahmad Dimyati. Teori Keuangan Islam  Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta:UII Press, 2008) hlm.142
[42]  Ibid.

+ comments + 1 comments

19 March 2018 at 19:51

terima kasih, sangat membantu untuk bahan referensi bacaan.semangat

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INFORMASI PENGETAHUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template | Distributed By: BloggerBulk
Proudly powered by Blogger